Menemukan Diri Phoebe Bridgers di Tengah Dunia Apokaliptik Punisher (album review)

tangkapan layar Phoebe Bridgers – I Know The End di Seth Meyers Live Performance

Album kedua kerap menjadi defining moment bagi musisi: memakai pola yang sama dengan album pertama namun dianggap minim eksplorasi, atau tanpa kompas menjelajah sonic dan lirik namun berisiko mengaburkan karakter musisi itu sendiri. Bagi Phoebe Bridgers, tidak ada waktu yang lebih tepat untuk merilis album penuh keduanya, Punisher, selain di tengah-tengah kondisi dunia yang babak belur dihajar pandemi. Penentuan waktu rilis, dunia yang sedang kacau, momen album kedua, juga karakter Phoebe Bridgers memang seperti sudah disuratkan dirilis pada tahun 2020. Phoebe Bridgers dikenal piawai menyusun lirik yang bercerita visual, self-deprecating namun terlihat ia embrace dengan keadaan itu. Persona sosial media Phoebe dikurasi seolah seperti akun hybrid personal dan meme akun. Tidak ada alasan untuk tidak menyukai figurnya.

Di album Punisher, Phoebe menunjukkan kematangan yang menjanjikan dalam penulisan lirik dan semakin menebalkan karakternya sejak kemunculannya di tahun 2017 lewat album penuh pertamanya, Stranger in The Alps. Jika Stranger in The Alps terdengar begitu rapuh, raw, dan melodius, maka Punisher adalah bentuk reaksi dari Phoebe bahwa ia telah merangkul dan berdamai–bahkan mengolok-olok–dirinya sendiri.

Punisher dibuka oleh track “DVD Menu” dengan sayatan string section diiringi bass yang tak begitu kentara dan piano yang berhasil memberi kesan sinematik dunia yang telah luluh lantak. “Garden Song” menempati track kedua yang sekaligus didaulat menjadi single pertama album ini. Tidak hanya karena lirik yang dengan manisnya mengaburkan fantasi dan mimpi buruk yang dialami Phoebe, tiap elemen saling bertalu dan begitu kawin di lagu ini. Tambahan vokal bass pria yang begitu rendah di chorus semakin memperkaya spektrum lagu. “And when I grow up, I’m gonna look up / From my phone and see my life / And it’s gonna be just like my recurring dream” cukup menyentil habit Generasi Z yang selama hidupnya merasa merasakan berbagai kehidupan yang padahal hanya mereka alami melalui layar gawainya saja. “Garden Song” sengaja dipilih menjadi single karena lagu ini seperti sequel dari lagu “Smoke Signals” di album Stranger in The Alps, seperti yang diakui oleh Phoebe sendiri dalam wawancaranya dengan Stereogum.

“Kyoto” adalah track paling up-tempo di antara judul lain. Penambahan horn section di beberapa bagian menjadikan lagu ini sangat festive untuk dijadikan anthem sing a long. Phoebe memberikan sentuhan goofiness yang tidak tanggung-tanggung, ia dengan sengaja membuat official video lagu ini seperti low budget video memakai green screen ala kadarnya yang diselipi cuplikan-cuplikan low-resolution berbagai tempat di Kyoto dan ajaibnya….tidak terlihat norak. Editing video yang asal-asalan di scene pancaran sinar laser dari mata Phoebe yang membakar Godzilla, scene Phoebe terbang di langit kota Kyoto, dan sorakan “Woo!” di akhir chorus pertama adalah sentuhan menyenangkan yang selalu berhasil membuat saya tersenyum geli. Banyak alasan mengapa “Kyoto” disukai, namun entah untuk alasan apa, Barack Obama menyertakan “Kyoto” di daftar lagu favoritnya di tahun 2020. Dan entah untuk alasan apa pula, saya menambahkan trivia ini…

Di track “Halloween”, Phoebe menggandeng Conor Oberst, yang juga tergabung di band Better Oblivion Community Center bersama Phoebe, untuk mengisi vokal. Track ini begitu menguras emosi seperti halnya di judul “Punisher”, “Chinese Satellite”, “Moon Song”, dan “Saviour Complex”.

Bagi saya, track yang terasa spesial adalah “Graceland Too”. Phoebe mengajak Lucy Dacus dan Julien Baker, yang di mana ketiganya tergabung di trio boygenius (salah satu band yang layak disimak!), untuk mengisi vokal. Lirik lagu ini berkisah tentang peduli dengan orang yang membenci dirinya sendiri dan bagaimana hal itu tidak mudah untuk dilalui, juga sebagai tribute untuk temannya yang sedang menjalani rehabilitasi. “Said she knows she lived through it to get to this moment / Ate a sleeve of saltines on my floor and I knew then”.

tangkapan layar Phoebe Bridgers – I Know The End di Seth Meyers Live Performance

Phoebe Bridgers jitu dalam menyusun urutan track di album keduanya. Punisher ditutup oleh judul “I Know The End” yang semakin lagu berjalan, semakin berubah progresinya menjadi klimaks dan tetap mempertahankan benang merah sinematik apokaliptiknya.

Punisher sejatinya adalah rangkuman perjalanan personal Phoebe Bridgers mengenai dirinya, yang ternyata sangat meresonansi ke pendengarnya hingga banyak yang merasa terwakili, dan beruntungnya, terjadi di tengah krisis dunia pandemi. Kita semua lelah mendengar betapa hancurnya tahun 2020. Punisher lahir tidak untuk menjadi mesias bahwa tahun 2020 tidak seburuk itu. Ia hadir sebagai musik latar yang paling tepat mengiringi dunia yang memang sedang menuju ambang kehancurannya. Dan karena alasan itu, album Punisher menjadi album terbaik saya di tahun 2020.

Favourite tracks: Saviour Complex, Garden Song, I Know The End, Graceland Too

Leave a Comment