reminisensi: 2021

Dua ribu dua puluh satu ditandai dengan terjun di dunia kamera analog. Saya terlahir di keluarga yang tidak kerap mengabadikan peristiwa dengan kamera. Kamera adalah benda yang mewah dan masih kalah prioritasnya dibanding urusan perut. Pertama memiliki kamera adalah ketika menginjak kelas 2 SMA, sebuah kamera DSLR. Waktu berjalan dan kini pun beruntungnya memiliki kesempatan untuk mendalami kamera dengan mencoba analog.
Ada keseruan ketika selama ini dimanjakan dengan teknologi digital kemudian mencoba analog, mulai dari mengulik jenis kamera, variasi roll film, mekanikal kamera–mempelajari dasar kamera dari nol lagi.
Sempat gonta-ganti gear, hingga detik ini saya terhenti di tiga kamera yaitu Pentax Spotmatic, Yashica Electro 35 GSN, dan Minolta Hi-Matic SD.

Berikut beberapa foto selama tahun 2021 yang saya capture dengan kamera yang pernah dan sekarang saya punya:

Rasuk, Zaman, Zaman dan Refleksi Diri

Saya termasuk orang yang malas eksplorasi musik baru, referensinya seperti mentok di situ-situ saja. Agar bisa benar-benar “masuk” dengan musik baru, terkadang perlu momen-momen tepat ketika pengalaman itu datang dan dilanjutkan ngulik entah itu lirik maupun sosok personilnya. Beberapa band atau musisi yang saya gemari saya dapat dari proses itu. Selain Bon Iver dan Phoebe Bridgers, The Trees and The Wild (TTATW) adalah salah satu band yang ada ruang tersendiri di hati saya.

Saya pernah menuangkan apa yang saya rasakan dan saya alami terhadap TTATW dalam sebuah tulisan yang begitu mentah dan naif. Nggak usah repot-repot dibaca tapi, ya. Malunya minta ampun. Cringe alert. Namanya juga bocah baru kenal iNdiE. Memang sengaja tidak dihapus karena saya anggap artefak dan pengingat bagaimana saya berkembang–walaupun faktanya masih sama begini-begini aja.
Tulisan ini merupakan respon lanjutan dari tulisan saya sebelumnya.

—-

Periode SMA (2010-2011) adalah puncak saya menikmati live pertunjukan TTATW dengan dua kali kesempatan menonton langsung. Pertama, di acara clothing di JEC Jogja akhir 2010, di mana pertama kali dibuat takjub mendengar lagu yang konon berjudul “Radoslav”. Entah bagaimana nasib lagu itu karena tak dimasukkan di track list album Zaman, Zaman. Padahal jika penasaran musik TTATW dan Barasuara dikawinkan, “Radoslav” ini prototipenya. Kesempatan kedua, pada pagelaran Smada English Night, pertengahan 2011. Momen itu masih sangat membekas, saya duduk di kelas 10 SMA dan pada malam yang sama dengan event TTATW ini, kelas saya sedang menggelar pementasan teater dan saya turut ambil peran, dengan egoisnya saya meninggalkan teman sekelas selepas pementasan usai hahaha.

dsc0061

(The Trees and The Wild di Smada English Night, Yogyakarta, 2011).

Pada saat itu, itulah kali terakhir saya menyaksikan mereka. Di tahun 2012 (atau 2013?), saya melihat kejanggalan ketika sadar Iga Massardi mulai jarang mengisi pertunjukan-pertunjukan TTATW. Puncaknya adalah tur Eropa di Estonia dan Finlandia yang menegaskan kemisteriusan keluarnya Iga. Tak pernah ada pernyataan resmi–itu sebab banyak isu yang mewangi di sana-sini. Pada saat yang sama, TTATW meresmikan tambahan tiga anggota: Tyo, Tamy, dan Innu. Waktu berjalan, lambat laun band ini lekat dengan label band mitos–antara ada dan tiada. Live gig makin jarang mengisi, sosial media pun sepi aktivasi.

Meski terkesan seperti hidup segan mati pun tak mau, di tahun 2016 TTATW mementahkan mitos itu dengan merilis album baru: Zaman, Zaman. Buah penantian panjang pendengarnya hadir juga. Perbandingan Zaman, Zaman dengan Rasuk tak bisa dihindari mengingat pivot yang dilakukan TTATW cukup radikal. TTATW seperti sengaja ingin melepas label folk yang kadung tersemat di mereka sejak album Rasuk mencuat. Konsep baru diusung. Seluruh track di album Zaman, Zaman sepenuhnya menggunakan lirik Bahasa Indonesia, komposisi yang penuh repetisi dan noise ambience yang riuh di mayoritas track.

ttatw, agustus 2019

(Showcase The Trees and The Wild di Rossi Musik, Agustus 2019.)

Waktu berjalan, delapan tahun berlalu sejak terakhir saya menonton mereka, tidak terbersit kesempatan menontonnya kembali akan hadir. Tak disangka, Sabtu, 31 Agustus 2019, TTATW menggelar showcase tunggal sekaligus merayakan sedekade album Rasuk. Tentu, nomor-nomor dari album Zaman, Zaman mendominasi set list, dengan disisipi beberapa lagu dari album Rasuk yang masih relevan dengan konsep baru TTATW.
Jika digambarkan, menyaksikan TTATW formasi baru itu bagai ritual penyembahan sekte: terbius dan terperangah dalam kagum. Penempatan komposisi disusun taktis. Bunyi-bunyi dieksplorasi secara teliti. Set panggung dipugar hingga tampak segar. Latar visual dikonsep dengan serius yang tampak dari pergantian satu lagu ke lagu lainnya dibarengi dengan pergantian latar visual–apapun itu, saya tetap menikmati suguhan langka ini.

Di tengah menikmati pertunjukan itu, saya sadar satu hal. Makin saya tenggelam dalam Zaman, Zaman, makin saya memahami Rasuk memiliki arti lain. Rasuk tidak selalu berada di nomor teratas dalam playlist saya dan tidak pula menjadi pilihan go-to saya ketika memilih lagu untuk “niat” didengarkan. Ketika mendengarkan Rasuk, ia seperti kawan karib lama yang jarang bertegur sapa, dan ketika sesekali saling bertukar kabar ada perasaan hangat di dada dan memori-memori kolektif yang bersama dilalui menyeruak kembali. Sedangkan Zaman, Zaman adalah versi murky old man yang ultra serius, sibuk dengan dirinya sendiri dan persetan dengan sekitarnya.

Di Zaman, Zaman ini, saya tidak lagi menemui perasaan sekhusyuk mendengar “Kata”. Tidak lagi menemui perasaan dikejut keseruan progresi “Derau dan Kesalahan”. Tidak lagi menemui perasaan merayakan keraguan masa depan dengan naif seperti di “Fight The Future”–semua terasa sederhana dan mengena di umur dan momen-momen penting kala itu.
Zaman, Zaman tidak (atau belum?) memberikan pengaruh sebesar itu. Mungkin penilaian saya terlalu prematur. Mungkin juga selera saya yang terlalu pop.

Atau mungkin, saya masih saja terbuai ribuan sangkalan untuk mengakui bahwa saya sudah menua dan enggan merelakan masa-masa ketika tumbuh bersama album Rasuk sudah jauh berlalu, dan menerima bahwa Zaman, Zaman–seperti halnya proses di diri saya–adalah proses pendewasaan yang niscaya.

Menemukan Diri Phoebe Bridgers di Tengah Dunia Apokaliptik Punisher (album review)

tangkapan layar Phoebe Bridgers – I Know The End di Seth Meyers Live Performance

Album kedua kerap menjadi defining moment bagi musisi: memakai pola yang sama dengan album pertama namun dianggap minim eksplorasi, atau tanpa kompas menjelajah sonic dan lirik namun berisiko mengaburkan karakter musisi itu sendiri. Bagi Phoebe Bridgers, tidak ada waktu yang lebih tepat untuk merilis album penuh keduanya, Punisher, selain di tengah-tengah kondisi dunia yang babak belur dihajar pandemi. Penentuan waktu rilis, dunia yang sedang kacau, momen album kedua, juga karakter Phoebe Bridgers memang seperti sudah disuratkan dirilis pada tahun 2020. Phoebe Bridgers dikenal piawai menyusun lirik yang bercerita visual, self-deprecating namun terlihat ia embrace dengan keadaan itu. Persona sosial media Phoebe dikurasi seolah seperti akun hybrid personal dan meme akun. Tidak ada alasan untuk tidak menyukai figurnya.

Di album Punisher, Phoebe menunjukkan kematangan yang menjanjikan dalam penulisan lirik dan semakin menebalkan karakternya sejak kemunculannya di tahun 2017 lewat album penuh pertamanya, Stranger in The Alps. Jika Stranger in The Alps terdengar begitu rapuh, raw, dan melodius, maka Punisher adalah bentuk reaksi dari Phoebe bahwa ia telah merangkul dan berdamai–bahkan mengolok-olok–dirinya sendiri.

Punisher dibuka oleh track “DVD Menu” dengan sayatan string section diiringi bass yang tak begitu kentara dan piano yang berhasil memberi kesan sinematik dunia yang telah luluh lantak. “Garden Song” menempati track kedua yang sekaligus didaulat menjadi single pertama album ini. Tidak hanya karena lirik yang dengan manisnya mengaburkan fantasi dan mimpi buruk yang dialami Phoebe, tiap elemen saling bertalu dan begitu kawin di lagu ini. Tambahan vokal bass pria yang begitu rendah di chorus semakin memperkaya spektrum lagu. “And when I grow up, I’m gonna look up / From my phone and see my life / And it’s gonna be just like my recurring dream” cukup menyentil habit Generasi Z yang selama hidupnya merasa merasakan berbagai kehidupan yang padahal hanya mereka alami melalui layar gawainya saja. “Garden Song” sengaja dipilih menjadi single karena lagu ini seperti sequel dari lagu “Smoke Signals” di album Stranger in The Alps, seperti yang diakui oleh Phoebe sendiri dalam wawancaranya dengan Stereogum.

“Kyoto” adalah track paling up-tempo di antara judul lain. Penambahan horn section di beberapa bagian menjadikan lagu ini sangat festive untuk dijadikan anthem sing a long. Phoebe memberikan sentuhan goofiness yang tidak tanggung-tanggung, ia dengan sengaja membuat official video lagu ini seperti low budget video memakai green screen ala kadarnya yang diselipi cuplikan-cuplikan low-resolution berbagai tempat di Kyoto dan ajaibnya….tidak terlihat norak. Editing video yang asal-asalan di scene pancaran sinar laser dari mata Phoebe yang membakar Godzilla, scene Phoebe terbang di langit kota Kyoto, dan sorakan “Woo!” di akhir chorus pertama adalah sentuhan menyenangkan yang selalu berhasil membuat saya tersenyum geli. Banyak alasan mengapa “Kyoto” disukai, namun entah untuk alasan apa, Barack Obama menyertakan “Kyoto” di daftar lagu favoritnya di tahun 2020. Dan entah untuk alasan apa pula, saya menambahkan trivia ini…

Di track “Halloween”, Phoebe menggandeng Conor Oberst, yang juga tergabung di band Better Oblivion Community Center bersama Phoebe, untuk mengisi vokal. Track ini begitu menguras emosi seperti halnya di judul “Punisher”, “Chinese Satellite”, “Moon Song”, dan “Saviour Complex”.

Bagi saya, track yang terasa spesial adalah “Graceland Too”. Phoebe mengajak Lucy Dacus dan Julien Baker, yang di mana ketiganya tergabung di trio boygenius (salah satu band yang layak disimak!), untuk mengisi vokal. Lirik lagu ini berkisah tentang peduli dengan orang yang membenci dirinya sendiri dan bagaimana hal itu tidak mudah untuk dilalui, juga sebagai tribute untuk temannya yang sedang menjalani rehabilitasi. “Said she knows she lived through it to get to this moment / Ate a sleeve of saltines on my floor and I knew then”.

tangkapan layar Phoebe Bridgers – I Know The End di Seth Meyers Live Performance

Phoebe Bridgers jitu dalam menyusun urutan track di album keduanya. Punisher ditutup oleh judul “I Know The End” yang semakin lagu berjalan, semakin berubah progresinya menjadi klimaks dan tetap mempertahankan benang merah sinematik apokaliptiknya.

Punisher sejatinya adalah rangkuman perjalanan personal Phoebe Bridgers mengenai dirinya, yang ternyata sangat meresonansi ke pendengarnya hingga banyak yang merasa terwakili, dan beruntungnya, terjadi di tengah krisis dunia pandemi. Kita semua lelah mendengar betapa hancurnya tahun 2020. Punisher lahir tidak untuk menjadi mesias bahwa tahun 2020 tidak seburuk itu. Ia hadir sebagai musik latar yang paling tepat mengiringi dunia yang memang sedang menuju ambang kehancurannya. Dan karena alasan itu, album Punisher menjadi album terbaik saya di tahun 2020.

Favourite tracks: Saviour Complex, Garden Song, I Know The End, Graceland Too